Aliran-Aliran Besar Jurnalistik Dunia
Pada awal perkembangannya, surat kabar sudah menjadi lawan nyata atau musuh penguasa mapan. Secara khusus, surat kabar memiliki persepsi diri sebagai lembaga penekan (maka sering disebut sebagai pers atau press yang berarti penekan). Citra pers yang dominan dalam sejarah selalu dikaitkan dengan pemberian hukuman bagi para pengusaha percetakan, penyunting dan wartawan. Perjuangan untuk mencapai kebebasan penerbitan, pelbagai kegiatan surat kabar untuk memperjuangkan kemerdekaan, serta hak-hak pekerja dan mereka yang tertindas.
Sebenarnya dari kajian sejarah zada sedikitnya enam teori atau aliran besar menyangkut teori normatif media massa. Indonesia saat ini, mungkin merupakan negara yang menganut perpaduan sejumlah teori.
Pertama, yang mencoba membedakan beberapa teori besar menyangkut media massa berawal pada tahun 1956. Pada saat itu, F Siebert menyebut ada empat sistem pers di dunia. Tetapi, Denis McQuail menambahnya menjadi enam teori pers yang sampai saat ini masih dianut oleh sebagian negara di dunia dengan berbagai modifikasinya termasuk di Indonesia. Sistem pers tersebut yakni sistem otoriter, pers bebas, tanggung jawab sosial, teori media soviet, teori media pembangunan dan teori media demokratik partisipan yang muncul mengikuti jamannya. Pada awalnya, pers sebagai salah satu medium komunikasi modern lahir di dalam masyarakat Authokratis Feodalistis (1450). Pada saat itu mulai dikenal teknik cetak yang diciptakan oleh Johan Guternberg. Kemudian berkembang terus menjadi sistem Libertarian pada abad 18, sistem pers Soviet, dan social responsibility pers.
Di Indonesia sendiri, konsep-konsep dari teori Authoritarian, libertarian, dan social responsibility pers saling bergesek mencari tempat. Lalu, bagaimana saat ini di tengah era reformasi? Sistem apa yang digunakan Indonesia di era kebebasan pers pasca pembubaran Deppen yang dianggap sebagai lembaga penghambat kebebasan pers di era orde baru? Apakah pers Indonesia otomatis berubah menjadi pers liberal? Apakah pemerintah kita tak lagi punya gigi untuk mengendalikan pers.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dipahami terlebih dahulu empat konsep atau teori pers klasik yang masih dianut di berbagai belahan dunia hingga saat ini. Selanjutnya, ditambah dua teori lain yang muncul belakangan.
Menurut Fred S Siebert dan kawan-kawan dalam buku ‘Four Theories Of The Press’ (1956) pada awalnya sistem pers di dunia ini dibagi menjadi empat.
Authoritarian Theory
Teori pers ini terkait dengan konsep negara otoriter. Sumber dari dasar keyakinan pada konsep otoriter ini adalah bahwa tidak setiap orang memeroleh kekuasaan mutlak dan bahwa setiap anggota masyarakat tanpa “Reserve” diwajibkan tunduk dan taat kepada kekuasaan tersebut. Oleh karenanya, fungsi dari suatu negara otokratis adalah menjaga persatuan atau kesatuan pikiran dan tindakan diantara rakyatnya dengan mempertahankan kontinuitas kepemimpinannya.
Cara untuk memeroleh segalanya itu dipakai secara persuasi, bisa juga paksaan serta kadang-kadang juga paksaan serta kadangkadang menggunakan kekerasan. Teori otoriter ini berkembang hingga abad 18 dan mendapat ‘tantangan’ dari para penganut pers liberal yang muncul kemudian. Konsep dasar dari teori authoritarian antara lain sebagai berikut.
- Bukanlah tugas atau kewajiban dari alat komunikasi massa atau pers untuk menetapkan haluan dan tujuan negara, karena hal ini adalah hak dari golongan yang berkuasa.
- Alat komunikasi massa hanya merupakan alat belaka untuk mencapai tujuan dan kepentingan negara bahkan seringkali jadi alat untuk kepentingan dan tujuan golongan vested interest.
- Kritik masih dimungkinkan, kalau tidak dilarang sama sekali. Tetapi kritik itu hanya boleh pada bidang penyelenggaraannya tidak diperbolehkan untuk menggugat tujuan.
- Teori ini cenderung bersikap skeptis terhadap kemampuan rakyat banyak.
Libertarian Theory
Teori pers ini amat dipengaruhi paham liberal klasik yang menempatkan pers sebagai ‘free market place of ideas’ dimana ide yang baik akan dipakai orang sedangkan ide yang terburuk akan gagal memengaruhi orang. Teori ini mulai berkembang pada abad 17 dan sangat dipengaruhi karya John Stuart Mill ‘On Liberty’. Mill berargumentasi bahwa:
The peculiar evil of silencing the expression of an opinion is, that is robbing the human race, posterity as well as the existing generation, those who dissent from the opinion, even more than those who hold it. If the opinion is right they are deprived of the opportunity of exchanging error for truth; if wrong, they lose what is almost as great a benefit, the clearer perception and livelier impression of truth produced by its collision with error
Stuart Mill hidup di jaman liberal, yaitu suatu jaman dimana masyarakat secara prinsip menentang campur tangan berlebihan dari pemerintah atau penguasa. Bukan saja di bidang ekonomi dan politik, akan tetapi juga di dalam usaha pembentukan watak manusia merdeka.
Dua konsep penting yang dianut teori Libertarian adalah “freedom of expression” dan “freedom of property”. Artinya, konsep pers liberal ini sangat mengagungkan kebebasan berekspresi dan kebebasan dalam hal kepemilikan. Kendati pers bebas, sejumlah problem dan inkonsistensi muncul, khususnya ketika menyangkut kebebasan pribadi. Kritik keras muncul terhadap teori ini karena seringkali mengabaikan hak-hak individu dan munculnya ‘abuse of liberty’.
Situasi ini terjadi antara lain karena orang dan media massa terlalu menonjolkan hak-haknya untuk menyatakan pendapat tanpa batas dengan tidak menunjukkan kewajiban dan tanggung jawab kepada masyarakatnya. Pers ibarat pada titik yang ekstrim beralih menjadi industri pers raksasa dan terpusat sehingga semakin sukar ditembus dominasinya. Hal ini akhirnya menimbulkan ekses-ekses diantaranyapers makin menjauh dari suara hati nurani masyarakat yang sebenarnya.
Theodore B Peterson mengecam pers liberal sebagai berikut.
- Bahwa pers telah memeroleh pengaruh dan kekuasaannya untuk tujuan sendiri, yakni bagi kepentingan si pemilik media massa.
- Bahwa pers liberal memiliki watak sebagai perusahaan ‘big business’ yang terkadang tak menolak untuk dikuasai atau dikendalikan para pemasang iklan sehingga mereka bisa seenaknya menentukan isi dan politik tajuk rencana.
- Pers seringkali menentang atau merintangi perubahan sosial.
- Pers seringkali lebih memerhatikan hal-hal yang dangkal dan sensasional di dalam pemberitaannya dan sifat hiburannya tidak bernilai.
- Bahwa pers seringkali membahayakan penegakan moral di tengah masyarakat.
- Bahwa pers tidak segan-segan menyerang soal-soal pribadi.
- Bahwa pers biasanya dikuasai oleh suatu kelas sosial ekonomi dan bila pers tersebut berkembang pesat menjadi suatu industri maka tertutuplah peluang bagi newcomers. Dengan demikian “The free and open market place of ideas” menjadi terancam.
Social Responsibility Theory
Media massa sesungguhnya wajib ‘bertanggungjawab’ kepada masyarakat, dan pemilik media massa adalah sebuah ‘public trust’. Maka dari itu, berita-berita media massa harus berlandaskan pada kebenaran, akurat, fair, objectif, dan relevan.
Media massa seharusnya menyediakan para pembacanya sebuah forum pertukaran ide atau gagasan (public sphere). Konsep ini muncul di era 1947-an dan sangat dipengaruhi oleh terbentuknya Komisi Kebebasan Press di Amerika.
Pada tahun 1947, di AS dibentuk sebuah komisi yang diketuai oleh Prof Robert M Hutchins dari Universitas Chicago. Komisi ini kemudian dikenal sebagai ‘Commission on Freedom Of The Press’ yang beranggotakan 7 orang guru besar dari pelbagai universitas di Amerika.
Komisi ini dibentuk atas saran Henry R Luce. Tugasnya adalah mengadakan riset mengenai kehidupan pers di AS dan prospeknya di masa depan.
Menurut teori ini, media massa seharusnya bebas tetapi hendaknya memiliki budaya ‘self regulated’. Media massa seharusnya mengikuti atau menyetujui kode etik dan standar professional wartawan. Dalam bukunya ‘Mass Communication Theory’, Denis McQuail menulis berikut ini.
…Social responsibility theory involved the view that media ownership and operation are form of public trust or stewardship, rather than an unlimited private franchise. For the privately owned media, social responsibility theory has been expressed and applied mainly in the form of codes of professional journalistic standards, ethics and conduct or in various kinds of council or tribunal for dealing with individual complaints against the press or by way of public commissions of inquiry into particular media. Most such councils have been organized by the press media themselves, a key feature of the theory being its emphasis on self regulation.
Soviet Communis Concept
Sumber dari konsep sistem pers ini adalah ajaran komunisme yang berasal dari Marxis-Leninisme. Filsafat historis-materialisme adalah dasarnya, sedangkan penilaian baik buruk diukur dengan dogma marxisme dan leninisme.
Teori ini muncul sekitar tahun 1917 setelah peristiwa Revolusi Oktober meletus yang mampu mengubah wajah Rusia. Menurut pakar Komunikasi Denis McQuail, Soviet dan negara beraliran komunis lainnya menerapkan ‘teori authoritarian baru’ yang sering disebut sebagai teori pers soviet komunis. Pada konsep ini, pers dipandang hanya sebagai alat partai komunis bukan sebagai alat komunikasi massa apalagi dianggap sebagai ‘kekuatan ke empat’ sebagaimana dianut kaum liberal.
Di negara komunis, media adalah alat ‘public opinion’ untuk tujuan dan kepentingan rakyat pekerja dan memperkuat sistem sosialis. Secara formal, sebenarnya ada kebebasan rakyat untuk menyatakan pendapatnya. Namun, karena alat komunikasi massa dijadikan alat dari partai dan negara, maka mana mungkin suarasuara yang tak senada dengan partai dan negara bisa muncul?
Denis McQuail kemudian menambahkan dua teori atau sistem pers lain, yakni: teori Media pembangunan dan teori media demokratik – partisipan.
Teori Media pembangunan
Titik tolak “teori pembangunan” tentang media massa ialah adanya fakta beberapa kondisi umum negara berkembang yang membatasi aplikasi teori lain yang mengurangi kemungkinan kegunaannya.
Salah satu kenyataan adalah tidak adanya beberapa kondisi yang diperlukan bagi pengembangansistem komunikasi massa seperti infrastruktur komunikasi, ketrampilan professional, sumber daya produksi dan budaya, serta audiens yang tersedia. Faktor lain yang berhubungan adalah ketergantungan pada dunia telah berkembang atas hal-hal yang menyangkut produk teknologi, ketrampilan, dan budaya.
Setelah itu, masyarakat di negara dunia ketiga sangat gandrung pada penekanan pembangunan ekonomi, politik, dan sosial sebagai tugas utama nasional di mana semua lembaga lainnya harus bermuara. Ciri-ciri utama dari teori media pembangunan diantaranya adalah sebagai berikut.
- Media seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan positif sejalan dengan kebijaksanaan yang ditetapkan secara nasional.
- Kebebasan media seyogyanya dibatasi sesuai dengan (1) prioritas ekonomi (2) kebutuhan pembangunan masyarakat.
- Media perlu memprioritaskan isinya pada kebudayaan dan bahasa nasional.
- Media hendaknya memprioritaskan berita dan informasinya pada negara sedang berkembang lainnya yang sangat erat kaitannya secara geografis, kebudayaan atau politik.
- Para wartawan dan karyawan media lainnya memiliki tanggung jawab serta kebebasan dalam tugas mengumpulkan informasi dan penyebarluasannya.
- Bagi kepentingan tujuan pembangunan, negara memiliki hak untuk campur tangan dalam atau membatasi pengoperasian media serta sarana penyensoran, subsidi, dan pengendalian langsung dapat dibenarkan.
Teori Media demokratik-partisipan
Teori ini sebenarnya merupakan perkembangan baru sebagai reaksi dari penyelewengan atau kekecewaan terhadap pers liberal yang diterapkan di dunia maju. Teori ini merupakan reaksi terhadap komersialisasi dan aksi monopoli media yang dimiliki secara pribadi. Juga reaksi terhadap sentralisme dan birokratisasi lembaga siaran publik yang diadakan sesuai dengan norma dan tanggung jawab sosial. Teori ini dipicu dari adanya kecenderungan beberapa organisasi siaran publik yang terlalu paternalistik, terlalu elit, dan terlalu akrab dengan proses pemapanan masyarakat. Teori ini juga disebabkan banyaknya organisasi siaran publik yang terlalu tanggap terhadap tekanan politik dan ekonomi, terlalu monolitik dan terlalu diprofesionalkan.
Istilah demokratik partisipan juga mengungkapkan rasa kecewa terhadap partai politik yang ada. Selain itu juga terhadap sistem demokrasi parlementer yang telah tercabut dari akarnya yang asli sehingga menghalangi keterlibatan masyarakat dalam kehidupan politik dan sosial.
Teori pers bebas dianggap gagal karena subversinya berdasarkan pasar, dan teori tanggung jawab sosial tidak memadai sebagai akibat dari Keterlibatan organisasi pers dalam organisasi pemerintahan dan dalam kemandirian organisasi ketika melayani publik.
Rumusan penting dari teori ini dapat disimpulkan sebagai berikut.
- Warga negara secara individu dan kelompok minoritas memiliki hak pemanfaatan media –hak untuk berkomunikasi- dan hak untuk dilayani oleh media sesuai dengan kebutuhan yang mereka tentukan sendiri.
- Organisasi dan isi media seyogyanya tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau pengendalian birokrasi negara.
- Media seyogyanya ada terutama untuk audiensnya dan bukan untuk organisasi media, para ahli atau nasabah media tersebut.
- Kelompok, organisasi, dan masyarakat lokal seyogyanya memiliki media sendiri.
- Bentuk media dalam skala kecil dan bersifat interaktif dan partisipatif lebih baik ketimbang media berskala besar, satu arah, dan diprofesionalkan.
- Kebutuhan sosial tertentu yang berhubungan dengan media massa tidak cukup hanya diungkapkan melalui tuntutan konsumen perorangan, tidak juga melalui negara dan berbagai lembaga utamanya.
- Komunikasi terlalu penting untuk diabaikan oleh para ahli.
Bagaimana Teori di Indonesia?
Dari enam teori pers di atas, terletak di posisi mana sistem pers Indonesia saat ini? Meski belum separah di negara barat, nampaknya pers Indonesia sudah mulai memasuki fase sistem pers liberal.
Meskipun demikian dalam berbagai situasi peranan penguasa dan kekuatan massa masih bisa memengaruhi kinerja pers Indonesia.
Pada saat ini, model pers seperti apa yang tidak bisa kita dapatkan di Indonesia? Bagi yang ingin mendapatkan berita-berita serius dan mendalam, mereka bisa memilih koran-koran atau majalah berbobot seperti Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Jawa Pos, Majalah Forum, dan Tempo. Bila ingin mendapat berita-berita sensasional, menjijikkan, dan bisa mendirikan bulu roma kita bisa ambil koran Sentana, Inti Jaya, Rakyat Merdeka, Lampu Merah, Misteri, Pos Kota, dan sejumlah koran atau majalah senada. Atau bila hanya ingin memenuhi selera rendah, banyak koran atau tabloid yang memasang cover gadis cantik dan seksi.
Ditambahpenuh cerita menyerempet porno yang bisa didapat dengan mudah, seperti majalah ‘Bos’, ‘Top’, ‘Pop’, ‘Fenomena’. Dahulu di era Orde Lama dan Orde Baru,--meski kadang tersamar--, kita pernah mengalami bagaimana pemerintah berupaya mengendalikan media massa lewat sejumlah peraturan dan hambatan seperti ketentuan SIUPP. Kebebasan pers sendiri di era itu masih dibayang-bayangi ancaman dan momok pembredelan pers, bila memuat berita-berita yang mengkritik pemerintah atau penguasa.
Pada saat ini, di era reformasi, tak ada lagi yang bisa mengendalikan media massa kecuali media massa sendiri. Tekanan masyarakat memang selalu ada tetapi sifatnya hanya sporadis tidak otomatis muncul begitu saja. Akan tetapi, bila muncul gerakan massa melawan media massa, dampaknya terkadang menyakitkan. Jumlah kasus-kasus pengrusakan terhadap media massa masih kecil. Biasanya disebabkan oleh ulah media massa itu sendiri yang tidak mampu melakukan self regulated atau sensor pribadi terhadap apa-apa yang hendak disajikan.
Pada era reformasi ini seringkali pers tidak lagi menghargai privasi, dan tidak pandang bulu menyebarkan gosip atau desas-desus meski belum teruji kebenarannya.
Ancaman real terhadap media massa justru muncul di sektor ekonomi, yakni mampukah dia bertahan hidup melawan persaingan dunia usaha. Caranya, lewat penyajian media yang bisa menarik pembaca dan pemasang iklan.
Idealnya, Indonesia harusnya menerapkan sistem pers yang bertanggungjawab pada masyarakat (social responsibility pers) dan menjunjung tinggi kode etik serta standard profesional. Media massa harus punya kebebasan pers tapi tidak kebablasan dan harus menghargai juga etika dan norma masyarakat. Mewartakan berita berlandaskan kebenaran, kejujuran dan akurasi, merupakan pedoman utama yang tak bisa ditawar-tawar lagi.