Kode Etik Jurnalistik dan Delik Pers
Kode etik sesungguhnya adalah petunjuk untuk menjaga mutu profesi sekaligus memelihara kepercayaan masyarakat terhadap profesi kewartawanan. Sesungguhnya kode etik ini yang membuat bukan orang lain. Bukan pemerintah, bukan pula lembaga legislatif, melainkan oleh kalangan wartawan itu sendiri.
Ada yang melakukan fungsi pengawasan atas pelaksanaan kode etik. Lembaga itu adalah sebuah dewan yang merupakan perangkat dari organisasi wartawan itu sendiri, yaitu Dewan Kehormatan PWI. Dan apabila terjadi suatu pelanggaran, maka lembaga itulah yang memberikan sanksi. Sebab, menurut Pasal 17 Kode Etik PWI “Tidak ada satu pihakpun di luar PWI yang dapat mengambil tindakan terhadap wartawan Indonesia dan atau medianya berdasar pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik ini”.
Mengapa wartawan perlu kode etik? Karena kode etik adalah penuntun moral wartawan kala bekerja. Oleh karena itu, wartawan yang mau dipandang harkat dan martabatnya sebagai jurnalis professional wajib menegakkan dan melaksanakan kode etiknya.
Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi manakala etik profesi ini diabaikan. Fenomena munculnya jurnalisme plintir, jurnalisme anarki, jurnalisme provokasi, jurnalisme preman, jurnalisme adu domba, jurnalisme semau gue dan jurnalisme cabul, sadar atau tidak muncul karena lemahnya penghayatan dan kepatuhan sebagian wartawan terhadap etika profesi.
Tanpa etika profesi, pers dapat menjadi sewenang-wenang. Seperti apa yang diuangkapkan wartawan senior Mahbub Djunaidi bahwa tanpa kode etik, pemberitaan pers akan menjadi anarkis. Tanpa kode etik, begitu kata mantan Ketua Umum PWI Pusat itu, wartawan bisa menjadi teroris.
Kode Etik Jurnalistik (KEJ) PWI
Kode etik Jurnalistik PWI terdiri atas IV Bab dan 17 pasal. Intinya sebagai berikut.
- Mempertimbangkan secara bijaksana patut tidaknya dimuat suatu karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar). Kalau membahayakan keselamatan dan keamanan negara, kalau merusak persatuan dan kesatuan bangsa, atau bakal menyinggung perasaan satu kelompok agama, sepatutnya tidak disiarkan. (pasal 2)
- Tidak memutarbalikan fakta, tidak memfitnah, tidak cabul dan tidak sensasional. (pasal 3)
- Tidak menerima imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas pemberitaan. (pasal 4)
- Menulis berita dengan berimbang, adil, dan jujur. (pasal 5)
- Menjunjung kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan tulisan yang merugikan nama baik seseorang, kecuali untuk kepentingan umum. (pasal 6)
- Mengetahui teknik penulisan yang tidak melanggar asas pradugatak bersalah serta tidak merugikan korban susila. (pasal 7 dan 8)
- Sopan dan terhormat dalam mencari bahan berita. (pasal 9)
- Bertanggungjawab secara moral dengan mencabut sendiri berita salah walau tanpa permintaan dan memberikan hak jawab kepada sumber atau obyek berita. (pasal 10)
- Meneliti semua kebenaran bahan berita dan kredibilitas narasumbernya. (pasal 11)
- Tidak melakukan plagiat. (pasal 12)
- Harus menyebutkan sumber beritanya. (pasal 13)
- Tidak menyiarkan keterangan yang off the record dan menghormati embargo. (pasal 14)
UU POKOK PERS
Pada era reformasi ini pers seolah dimerdekakan lewat undangundang baru, yaitu UU No40/1999 tentang Pers. Undang-undang baru ini secara eksplisit mengatur masalah kode etik di dalam pasal 7 Bab III. Pada Ayat (1) menyatakan “wartawan bebas memilih organisasi wartawan”, sehingga PWI bukan lagi satu-satunya organisasi kewartawanan. Sedangkan, ayat (2) menyatakan “wartawan memiliki dan mentaati etik jurnalistik”. Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kode etik adalah kode etik yang disepakati oleh organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Menurut RH Siregar dari PWI, sesungguhnya dapat ditafsirkan bahwa lewat pasal 7 ini UU Pers yang baru tidak memerbolehkan adanya organisasi tunggal kewartawanan. Tetapi, urusan kode etik tidak lagi sepenuhnya urusan internal wartawan. Meskipun tidak tegas menyatakan harus atau wajib, ayat dua pasal 7 mematok wartawan untuk mentaati kode etik.
Artinya, pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik tidak lagi sekedar pelanggaran organisatoris wartawan dan organisasinya, tapi telah menjadi pelanggaran hukum positif, terutama jika itu telah menjadi kekuatan hukum di pengadilan.
Bisa dikatakan apabila wartawan melanggar kode etik berarti juga melanggar hukum. Ini tersirat dengan ditetapkannya oleh UU Pers bahwa “wartawan mentaati kode etik”, maka secara hukum mengikat. Karena sudah merupakan ketentuan UU, maka siapapun secara hukum bisa mengatakan wartawan tertentu telah melanggar kode etik. Tegasnya, aparat penyidik misalnya bisa melakukan penilaian apakah wartawan sudah melanggar kode etik atau tidak, bahkan memrosesnya melalui pengadilan.
Dengan kewenangan seperti itu, maka kode etik tidak lagi bersifat otonom, karena penilaian dan penetapan sanksi atas pelanggarannya bukan lagi sepenuhnya wewenang profesi. Dengan demikian, UU Pers yang baru ini menjadikan wartawan setiap saat bisa ditangkap dan ditahan atas tuduhan pelanggaran kode etik.
Hal ini dimungkinkan mengingat kode etik yang sifatnya normatif, telah dikriminalisasi menjadi pelanggaran hukum yang positif dan imperatif.
Bagi pers yang melanggar prinsif dasar (pasal 5) didenda paling banyak Rp 500 juta. Pasal 5 dimaksud adalah mengenai pelanggaran atas norma agama, rasa susila, dan asas praduga tak bersalah. Ayat lainnya menyebut kewajiban pers melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi.
Sementara bagi pihak di luar pers yang melanggar prinsip dasar (pasal 4 ayat 2 dan 3) dihukum penjara paling lama dua tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta. Pasal 4 dimaksud berbunyi “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,pembredeilan, atau larangan penyiaran” (ayat 2). Ayat 3 berbunyi “Untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memeroleh, dan menyebarluaskan informasi”.
Bagi seluruh wartawan Indonesia, sesungguhnya ini sesuatu yang amat berat. Tak heran, jika sejumlah wartawan senior, seperti RH Siregar, Sekretaris Dewan Kehormatan PWI, dan juga Wakil Ketua Dewan Pers menilai bahwa sesungguhnya UU Pers baru itu tidak sepenuhnya undang-undang yang memerdekakan pers. Melainkan, produk legislasi baru yang membelenggu para wartawan melalui aturan kode etik jurnalistik mereka masing-masing. Melanggar kode etik berarti pelanggaran hukum. Padahal, kode etik adalah rambu-rambu internal yang dibuat oleh para wartawan sendiri yang dilaksanakan dengan ketat guna membatasi cara dan etika bekerja para wartawan. Tak seorang pun penyusun kode etik itu berfikir bahwa suatu kali rambu yang mereka susun itu kelak menjadi rambu hukum yang mengikat mereka. PWI sendiri termasuk organisasi yang menentang pasal yang memasukkan aturan kode etik ini dalam pasal di undang-undang pers. Dan sampai kini terus mengusahakan agar pasal itu dikeluarkan dari undang-undang.
UU Pers No 40 Tahun 1999 juga dirasakan tidak adil oleh kalangan pers. Dalam pasal 5 ayat 2 ditetapkan “Pers wajib melayani Hak Jawab”. Rumusan seperti itu, apalagi dengan mencantumkan kata “wajib”, dengan sendirinya menimbulkan konsekuensi hukum, yakni bisa dipidana denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta jika tidak melakukannya.
Padahal seperti diketahui, Hak Jawab merupakan ketentuan normatif yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, sehingga sanksinya pun bersifat moral. Tetapi dengan diangkatnya ketentuan normatif tadi ke dalam hukum positif, dengan sendirinya menimbulkan konsekuensi hukum dan sanksi pidana.
DELIK PERS
Sejumlah pasal KUHP yang sering disebut sebagai pasal-pasal Delik Pers masih berlaku hingga saat ini. Salah satunya adalah soal Pembocoran Rahasia Negara (KUHP Pasal 112). Pasal itu berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Pasal lain yang juga sering ‘dilanggar’ pers adalah Penghinaan Terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134). Pasal ini berbunyi: “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara itu dalam Pasal 137 KUHP diatur: (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Bila tulisan itu berisikan sikap: Permusuhan, Kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah melangar (Pasal 154). Pasal itu berbunyi: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sedangkan pada Pasal 155 KUHP berisi: (1) Barang siapa di muka umum mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaanpermusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan golongan (Pasal 156). Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Perasaan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama sesuai pasal 156a, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau perbuatan: (a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. (b) Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penghasutan (pasal 160). Pasal tersebut berbunyi: Barang siapa di muka umum lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasarkan ketentuan undangundang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara pada pasal 282 mengatur soal Pelanggaran Kesusilaan, Yakni: ayat (1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pada ayat (2) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, atau barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambaran, atau benda itu melanggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara itu, soal Pemberitaan Palsu Diatur dalam pasal 317 yang berbunyi: (1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Sebagai contoh bisa dilihat dari sejumlah fakta di bawah ini.
Dalam prakteknya, sejak Orde Lama hingga saat ini, masih terjadi pelanggaran KUHP khususnya berkenaan dengan Delik Pers. Selama tahun 1957 telah terjadi 125 kali tindakan dan tuduhan terhadap pers. Bagian terbesar dari tindakan dan tuduhan terhadap pers itu menyangkut politilk. Di antaranya 6 kasus pengecaman terhadap pemerintah atau pejabat tinggi negara. Dan juga 9 kasus penghinaan terhadap pemerintah/pejabat pemerintah di samping 35 kasus berisi tuduhan mengganggu keamanan dan ketertiban.
Salah satu kasus yang mendapat perhatian masyarakat waktu itu menyangkut Mr. T.D. Hafas, Pemimpin Redaksi Harian Nusantara, Jakarta. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 September 1971 menghukum Mr Hafas satu tahun penjara karena dituduh melanggar Pasal 154 KUHPidana yang terkenal dengan haatzaai artikelen. Mr. Hafas dalam Harian Nusantara dari tahun 1970 sampai tahun 1971 memuat sejumlah tulisan. Tulisannya termuat dalam tajuk rencana dan rubrik “Tahan Ora” beserta gambar dan karikatur yang dinilai merendahkan dan menghina kekuasaan. Kekuasaan sah serta menghasut supaya timbul rasa permusuhan dan kebencian dalam masyarakat terhadap pemerintah.
Tanggal 4 November 1989, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menghukum redaktur pelaksana harian berita buana, Jakarta satu setengah tahun penjara. Dia terbuti menyiarkan kabar bohong ex Pasal 160 KUHPidana mengenai makanan kaleng yang mengandung lemak babi. Berita yang disajikan berjudul “Banyak Makanan Yang Dihasilkan, Ternyata Mengandung Lemak Babi”. Ternyata dalam pemeriksaan di sidang pengadilan terbukti yang bersangkutan tidak berusaha meneliti kebenaran informasi yang diperolehnya sebelum disiarkan. Dengan kenyataan itu, Majelis Hakim berpendapat ada unsur dengan sengaja menyiarkan kabar bohong.
Tanggal 7 April 1991, Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor, Arswendo Atmowiloto dihukum 5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena terbukti sah menurut hukum melakukan perbuatan yang bersifat penodaan terhadap agama. Redaksi Majalah Hiburan Senang diusut oleh Polda Metro Jaya karena dituduh telah menghina Nabi Muhammad SAW dengan memuat ilustrasi berupa rekaan gambar Nabi Muhammad SAW di dalam rubrik konsultasi “Ketok Magic” edisi No. 34 tanggal 24 September s/d 4 Oktober 1990. Tidak diketahui bagaimana kelanjutan perkara ini, sedang pemiliknya memutuskan mengembalikan SIUPP majalah tersebut ke Dep. Penerangan.
Pada Minggu Ke-3 September 1998 Skh Indonesia Merdeka, Banjarmasin memuat tulisan berjudul “Dari Negara Dipa Hingga Kotamadya Banjarmasin”. Tetapi, penulis mengajukan protes karena redaksi dituduh memotong-motong artikel sedemikian rupa sehingga makna dan arti yang terkandung dalam artikel menjadi berbeda. Perbuatan mana dianggap merugikan dan mencemarkan nama baik penulis.
Tanggal 25 Agustus 1999, pemimpin redaksi tabloid warta republik oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dihukum percobaan karena mencemarkan nama baik pengadu, yaitu Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno dan Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat. Tabloid itu pada edisi No.01/l/Minggu III November 1998 memuat dalam cover “Cinta Segitiga Dua Orang Jenderal” dan di halaman dalam berjudul “Try Sutrisno dan Edi Sudradjat Berebut Janda”.
Majalah D&R diajukan ke pengadilan karena dalam edisi No. 42/XXIX/6 Juni 1999 memuat berita yang dianggap mencemarkan nama baik Gubernur Sulsel, HZB Palaguna. Dalam beritanya mengenai berbagai praktik KKN di provinsi itu dan kemudian mengatur tender proyek serta melaksanakan pernikahan tiga anaknya dengan biaya yang ditanggung para Bupati.
Majalah Gatra digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena memuat berita “Obat Terlarang, Nama Tommy Pun Disebut” dalam edisi No. 48 Tahun IV, 17 Oktober 1998. Pemuatan berita tersebut dianggap sebagai perbuatan tidak menyenangkan dan menggugat ganti rugi Rp 150 miliar. Tetapi, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan dan membebaskan Majalah Gatra membayar ganti rugi karena media tersebut sudah melakukan peliputan berita sesuai ketentuan kode etik.